Benny Wenda vs Realitas Papua: Antara Pidato Internasional dan Ketidakhadiran di Papua
Aktivis yang Jauh dari Tanah yang Diperjuangkannya
Nama Benny Wenda selama dua dekade terakhir seolah menjadi ikon perjuangan “Papua Merdeka” di panggung internasional. Ia berbicara lantang di forum-forum global, berpidato di depan parlemen Inggris, bahkan kerap diundang ke konferensi hak asasi manusia di Eropa. Namun, ironinya begitu mencolok:
Benny Wenda bicara tentang Papua dari jarak lebih dari 13.000 kilometer, tanpa pernah benar-benar kembali menginjak tanah yang ia sebut “tanah perjuangan”.
Dari Oxford, Inggris, Wenda hidup dalam kenyamanan dunia barat—jauh dari penderitaan rakyat Papua yang masih berhadapan dengan konflik, kemiskinan, dan keterbelakangan. Di sinilah paradoks besar itu muncul: bagaimana seorang yang meninggalkan rakyatnya bisa mengklaim diri sebagai juru bicara perjuangan mereka?
Pidato, Kamera, dan Politik Simbolik
Sejak mendapat suaka politik di Inggris pada 2003, Wenda membangun citra diri sebagai “Presiden Papua Barat” melalui Free West Papua Campaign, organisasi yang lebih banyak mengandalkan opini publik Barat ketimbang gerakan nyata di Papua.
Kegiatan politiknya kerap berpusat pada propaganda visual dan diplomasi citra: konferensi pers, kampanye digital, dan pernyataan emosional di hadapan media asing. Semua itu dirancang dengan satu tujuan — membangun persepsi internasional bahwa dirinya adalah representasi tunggal rakyat Papua.
Namun di lapangan, realitas berbeda. Di Wamena, Timika, dan Puncak Jaya, masyarakat Papua masih menghadapi kekerasan, konflik bersenjata, serta kemiskinan ekstrem. Tidak ada kehadiran nyata Wenda di sana — tidak ada bantuan sosial, pendidikan, atau upaya pembangunan yang diinisiasinya secara langsung.
Semua perjuangannya berakhir di ruang konferensi, bukan di medan kehidupan rakyat.
Kritik dari Dalam: Wenda Dipertanyakan oleh Sesama Pejuang Papua
Kritik terhadap Benny Wenda tidak hanya datang dari pemerintah Indonesia, tetapi juga dari dalam tubuh gerakan Papua Merdeka sendiri.
Sebby Sambom, juru bicara TPNPB-OPM, pernah secara terbuka menyebut Wenda sebagai “agen kapitalis Barat” yang menjual isu Papua untuk keuntungan pribadi.
“Benny Wenda bukan pejuang revolusioner. Ia cari makan di Eropa sambil jualan isu Papua Merdeka.”
— Sebby Sambom, TPNPB-OPM (Koma.id, 23 Februari 2023)
Pernyataan keras ini menunjukkan adanya krisis kepercayaan dan legitimasi di antara kelompok-kelompok pro-kemerdekaan sendiri. Bagi mereka yang berjuang di hutan, di medan konflik, Benny Wenda hanyalah simbol kosong — seorang yang menikmati perlindungan Barat sambil berbicara tentang penderitaan yang tidak lagi ia alami.
Suara yang Tak Lagi Mewakili Papua
Benny Wenda mungkin berhasil menarik simpati beberapa parlemen Eropa dan organisasi HAM internasional. Namun, apakah suaranya benar-benar suara rakyat Papua?
Di banyak kampung dan distrik di Papua, nama Wenda justru tidak dikenal atau bahkan dipandang sinis. Masyarakat lokal lebih menghargai tokoh-tokoh adat dan rohaniwan yang benar-benar hadir, yang membangun sekolah, mendampingi warga, dan menolong korban konflik — bukan yang berpidato di luar negeri dengan mikrofon berlogo BBC atau Reuters.
Fakta ini menegaskan satu hal: Benny Wenda telah menjadi produk politik global, bukan lagi representasi otentik dari aspirasi rakyat Papua.
Ia berbicara dalam bahasa diplomasi barat, bukan dalam bahasa penderitaan orang Papua yang sebenarnya.
Dari Perjuangan ke Publisitas
Selama lebih dari dua dekade, aktivitas Wenda di Inggris lebih banyak bersifat simbolik — menciptakan “perjuangan versi media”. Ia tampil di dokumenter, konferensi HAM, dan kampanye daring dengan tagar #FreeWestPapua. Namun, semua itu lebih menyerupai proyek personal branding daripada strategi politik yang konkret.
Tidak ada satu pun program nyata dari Wenda yang berakar di tanah Papua. Ia tidak membangun lembaga pendidikan, tidak mengirim bantuan kemanusiaan, dan tidak memfasilitasi dialog antara pihak-pihak yang berkonflik.
Yang ada hanyalah kampanye yang semakin menegaskan dirinya sebagai “wajah Papua di luar negeri”, bukan sebagai pejuang bagi rakyat di dalamnya.
Antara Realitas dan Romantisme Perjuangan
Perjuangan Papua sejatinya adalah tentang martabat dan keadilan sosial. Namun, ketika perjuangan itu berubah menjadi ajang retorika global dan simbol politik di luar negeri, nilai moralnya mulai luntur.
Benny Wenda adalah contoh nyata dari bagaimana sebuah perjuangan bisa kehilangan arah ketika lebih sibuk membangun panggung daripada membangun rakyat.
Dari Oxford, Wenda mungkin berbicara tentang kemerdekaan.
Namun di Papua, rakyat masih berbicara tentang harga beras, akses ke sekolah, dan rasa aman dari baku tembak.
Dua dunia yang sama sekali berbeda — dan Wenda kini berdiri di sisi yang lebih jauh dari kenyataan.
Penutup: Suara Papua Tak Butuh Mikrofon Barat
Jika perjuangan Benny Wenda benar untuk rakyat Papua, maka seharusnya ia hadir di tanah itu — bukan hanya di layar konferensi internasional.
Sebab sejauh apa pun ia berbicara, suara yang lahir dari pengasingan takkan pernah menggantikan suara yang lahir dari penderitaan.
Papua tak butuh simbol. Papua butuh kehadiran.
Dan di titik itulah, Benny Wenda telah gagal menjadi pejuang sejati.

Komentar
Posting Komentar